Senin, 11 Juni 2012

Jami’ah Al-Qarawiyyin, Universitas Tertua di Dunia

Jami’ah Al-Qarawiyyin, Universitas Tertua di Dunia

                                                Salah satu sudut jami'ah Al-qarawiyyin
Pada masa kejayaan Islam, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, namun juga sebagai pusat aktivitas ilmiah. Semenjak kelahiran peradaban Islam, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya telah menggunakan masjid sebagai tempat pengkajian Al-Quran. Kegiatan intelektual ini kian berlanjut setelah Rasulullah wafat, bahkan terus menyebar ke seluruh kawasan yang telah dikuasai kaum Muslim.
Hal yang sama terjadi di Maroko, tepatnya di Fes. Di kota ini terdapat Masjid Qarawiyyin yang berdiri pada tahun 859 M. Laiknya kebanyakan masjid pada saat itu, masjid yang sering disebut Jami’ah Al-Qarawiyyin ini menjadi pusat pendidikan komunitas Muslim setempat. Kajian ilmiah di masjid ini bahkan setara dengan tingkat perguruan tinggi. Karenanya, pada tahun 1998, The Guinness Book of Record mencatat Jami’ah Al-Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia yang hingga saat ini masih beroperasi dan terus memberikan gelar kesarjanaan kepada lulusannya.

Walaupun memiliki predikat sebagai universitas tertua, Jami’ah Al-Qarawiyyin bukanlah universitas pertama di dunia. Ensiklopedi Encarta menyematkan gelar perguruan tinggi pertama pada Akademi yang didirikan oleh Plato tahun 387 SM di Yunani. Menyusul setelahnya Lyceum di Athena, Universitas Alexandria di Mesir, Universitas Konstantinopel di Turki, dan Universitas Nalanda di India.
Seiring berjalanannya waktu dan pergantian kekuasaan, universitas-universitas tersebut sudah sejak lama tidak beroperasi lagi. Hal inilah yang menjadikan Jami’ah Al-Qarawiyyin sebagai universitas tertua di dunia dengan umur hampir mencapai 12 abad. Universitas ini lebih tua dari Universitas Al-Azhar di Kairo yang mulai beroperasi pada abad ke-10, bahkan jauh lebih tua dari berbagai universitas pelopor di Eropa seperti Universitas Bologna, Universitas Paris, dan Universitas Oxford yang baru beroperasi antara abad ke-11 dan abad ke-12.

Pendiri Jami’ah Al-Qarawiyyin adalah Fatimah Al-Fihri (? – 880 M), seorang muslimah terpelajar sekaligus putri pengusaha kaya. Keluarga Al-Fihri adalah imigran dari Kota Qairawan, Tunisia yang kemudian menetap di Fes bersama ribuan imigran lainnya. Sepeninggalan ayahnya, Fatimah menghabiskan seluruh harta warisannya untuk mendanai pembangunan masjid yang nantinya akan menjadi pusat ibadah dan pendidikan bagi penduduk Fes.
Arsitektur Moor
Struktur bangunan Masjid Qarawiyyin mengikuti bentuk masjid tradisional bangsa Arab yang pada umumnya terbagi atas dua bagian, yaitu mughatta (aula shalat beratap) dan sahn (halaman terbuka). Pada Masjid Qarawiyyin, bagian mughatta merupakan bangunan hypostyle yang terbentuk dari deretan aisle (barisan tiang yang membentuk sebuah lorong), sedangkan sahn Masjid Qarawiyyin berupa halaman terbuka yang dikelilingi oleh riwaq atau portico (lorong berpilar dan beratap).
Masjid Qarawiyyin yang ada pada saat ini merupakan hasil rekonstruksi dan ekspansi yang dilakukan berkali-kali oleh sejumlah penguasa Muslim. Pada awalnya, Fatimah Al-Fihri membangun masjid ini dengan struktur yang hampir sama dengan Masjid Qairawan di Tunisia. Kala itu, aula masjid atau mughatta hanya terdiri dari empat saf aisle sepanjang 30 meter, sedangkan di sebelah barat aula tersebut dibangun sebuah sahn dan menara.

Menyikapi pertambahan populasi penduduk Fes dan pelajar di Masjid Qarawiyyin, pada 956 M, Pemimpin Zenata merombak dan memperluas masjid. Khalifah Umayyah dari Kordoba, Abdurrahman III (889 – 961), menyumbangkan dana dengan jumlah yang sangat besar untuk membiayai proyek tersebut. Perluasan pertama dilakukan dengan menambah 14 deret aisle di sebelah barat dan timur aula masjid, memindahkan sahn ke bagian yang lebih barat, dan memindahkan menara ke riwaq sebelah utara.
Pada tahun 1135, Pemimpin Al-Murabitun, Ali bin Yusuf (? – 1143), menambahkan tiga deret aisle pada sisi barat masjid. Dalam perluasan kali ini, dibuat juga sebuah nave (aisle pusat) yang memotong kesepuluh deret aisle pada aula utama. Nave ini menghubungkan pintu utama aula dengan mihrab masjid. Perancang nave Masjid Qarawiyyin adalah dua orang arsitek asal Andalusia yang juga merancang nave Masjid Tlemcen di Aljazair.

Ali bin Yusuf memerintahkan arsiteknya untuk membuat sebuah mihrab baru di bagian tengah dinding kiblat. Mihrab masjid ini memiliki corak Kordoba dengan lengkungan tapal kuda dan ornamen khas ijmiz-nya. Serupa dengan mihrab Masjid Kordoba di Spanyol, ijmiz atau ornamen penghias mihrab Masjid Qarawiyyin dihiasi motif floral, geometri, dan kaligrafi kufi khas Andalusia. Sejumlah mimbar kayu untuk keperluan khutbah dan kuliah pun didatangkan langsung dari Kordoba.

Satu lagi perangkat masjid yang didatangkan dari Andalusia adalah lampu gantung (chandelier) pemberian Pemimpin Dinasti Almohad pada 1203. Lampu ini dibuat dari hasil peleburan sebuah lonceng perunggu raksasa yang diambil ketika Pasukan Almohad memenangi peperangan di Gibraltar. Hal-hal tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara kawasan Spanyol (Andalusia) dan Maroko (Maghribi) yang kala itu sama-sama berada di bawah pemerintahan Islam.
Pada abad ke-16, Sultan Dinasti Sa’adi, Abdallah bin Al-Shaikh, turut mempercantik Masjid Qarawiyyin. Beliau membangun dua buah paviliun kembar dan sebuah air mancur (mathara) sebagai tempat berwudu di halaman masjid. Semua lantai halamannya dilapisi zilij (rangkaian ubin khas Maghribi). Banyak ahli yang berpendapat bahwa halaman Masjid Qarawiyyin merupakan representasi dari “Court of The Lions” di Istana Alhambra, Spanyol.

Masjid Qarawiyyin memiliki menara yang sangat khas dengan denah berbentuk bujur sangkar. Berfungsi sebagai tempat adzan dan observatorium astronomi, menara bercat putih ini berdiri menjulang di tengah kota Fes. Walaupun bentuknya sederhana, menara ini adalah cikal bakal menara bergaya Maghribi dan Andalusia yang dibangun setelahnya. Di atas menara terdapat ruangan bernama Darul Muwaqqit yang di dalamnya terdapat jam air Al-Lajai. Jam air tersebut dipakai untuk menghitung waktu shalat. Selain itu, masjid ini pun dilengkapi dengan jam matahari dan jam pasir.
Secara keseluruhan, masjid yang dapat menampung sekitar 22.700 jamaah ini dapat dikategorikan ke dalam bangunan berarsitektur moor. Jenis arsitektur ini adalah perpaduan antara seni Islam Afrika Utara dengan gaya Visigoth dari Semenanjung Iberia. Karakteristik gaya moor yang terdapat pada Masjid Qarawiyyin dapat dilihat dari muqarnas khas Maghribi dan Andalusia bernama mocarabe yang terdapat pada gerbang dan dinding masjid, hiasan pelaster bercorak geometri dan floral pada dinding dan langit-langit, aula hypostyle, penggunaan ubin keramik zilij, bentuk mihrab dan mimbar yang khas, penggunaan mashrabiyya atau maqsura (sekat pemisah dari kayu), serta penggunaan lengkungan tapal kuda, cuping, runcing, dan lambrequin.

Pusat Pengetahuan dan Kebudayaan Islam di Belahan Bumi Barat
Jami’ah Al-Qarawiyyin memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan budaya dan sejarah keilmuan dunia Islam. Sebagai masjid tertua di kawasan Maghribi, Jami’ah Al-Qarawiyyin telah sejak lama menjadi pusat ibadah serta pendidikan bagi masyarakat setempat. Tidak hanya itu, Qarawiyyin pun menjadi magnet bagi para pencari ilmu dari berbagai negeri.
Pada awalnya aktivitas ilmiah yang ada di masjid ini hanya membahas tentang ilmu tafsir, fiqih, dan hadis. Namun, seketika muncul beberapa kajian lain seperti linguistik, sastra, filsafat, politik, matematika, astronomi, ekonomi, seni rupa, dan musik. Pada abad ke-10, sebelum universitas tertua di Eropa lahir, ilmu kedokteran dan farmasi sudah diajarkan di Jami’ah Al-Qarawiyyin. Menyusul setelahnya kajian sosiologi, geografi, sejarah, arsitektur, teknik, psikologi, dan berbagai cabang ilmu alam lainnya. Dengan tetap mengikuti aturan pihak universitas, pelajar di Qarawiyyin diberikan kebebasan untuk mengambil studi apapun yang diminatinya. Dengan demikian, lahirlah sarjana-sarjana polymath yang menguasai lebih dari satu bidang ilmu.

Praktek kuliah di Masjid Qarawiyyin menggunakan sistem halaqah. Dalam sistem ini, pengajar dan pelajar duduk melingkar di lantai masjid. Pelajar pria dan wanita kuliah dalam tempat terpisah. Mimbar-mimbar masjid sering digunakan pengajar dan ilmuwan tamu untuk memberikan materi pada saat seminar atau kuliah dengan jumlah peserta yang banyak. Terdapat puluhan halaqah yang menyebar di berbagai sudut Masjid Qarawiyyin, sesuai dengan mata kuliah dan jadwalnya. Universitas Qarawiyyin pun sering mengirimkan sejumlah ilmuwannya untuk mentransfer ilmu pengetahuan ke berbagai universitas di dunia, seperti Universitas Bologna, Universitas Sankore, Universitas Al-Azhar, dan Universitas Granada.
Ketika jumlah pelajar di Universitas Qarawiyyin kian bertambah, pihak universitas akhirnya melakukan seleksi yang sangat ketat dalam menerima mahasiswa baru. Calon mahasiswa harus menguasai Al-Quran, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu umum dari madrasah tingkat dasar. Selain itu, untuk mengatasi kepadatan ruang, beberapa halaqah dipindahkan ke sejumlah madrasah di sekitar masjid, seperti Madrasah Mesbahia, Madrasah Attarin, Madrasah Seffarin, Madrasah Fes El Jedid, dan Madrasah Bou Inania.
Aktivitas ilmiah di universitas tertua ini tidak dapat terlepas dari peran Perpustakaan Qarawiyyin yang berada di sebelah timur masjid. Bahan-bahan kuliah selalu diambil dari perpustakaan ini. Tidak hanya digunakan oleh pihak universitas saja, berbagai madrasah di sekitar Masjid Qarawiyyin pun ikut mempergunakan perpustakaan tersebut. Hingga kini, Perpustakaan Qarawiyyin merupakan salah satu yang terbesar di antara tiga puluhan perpustakaan yang ada di Kota Tua Fes.

Universitas Qarawiyyin telah melahirkan sejumlah ilmuwan Muslim yang telah memberikan kontribusi besar pada dunia pengetahuan, di antaranya adalah; ahli geografi dan pembuat peta, Muhammad Al-Idrisi (1099 – 1166); penjelajah, penulis, serta ahli hadis, Ibnu Rashid Al-Sabti (1259 – 1321); geografer, Al-Wazzan Al Fasi atau Leo Africanus (1494 – 1554); ahli teologi dan filsafat, Ibnu Al-Arabi (1076 – 1184); sastrawan, sejarawan, ahli filsafat, dan dokter, Ibnu Al-Khatib (1313 – 11374); astronom, Al-Bitruji atau Alpetragius (? – 1204); dan ahli sejarah, ekonomi, teologi, matematika, filsafat, hukum, astronomi, militer, kesehatan, dan sosiologi, Ibnu Khaldun (1332 – 1406).

ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization) dalam tulisannya yang bertajuk “Fes: Capital of Islamic Culture” mengemukakan, sejumlah ilmuwan besar Muslim asal Andalusia sempat mengajar di Qarawiyyin, di antaranya; ahli astronomi, fisika, psikologi, musik, botani, dan kedokteran, Ibnu Bajjah atau Avempace (1095 – 1138); ahli ilmu kedokteran dan farmasi, Ibnu Zuhr atau Avenzoar (1091 – 1161); dan ahli filsafat, teologi, psikologi, politik, musik, kedokteran, astronomi, geografi, fisika, matematika, dan teknik, Ibnu Rushid atau Averroes (1126 – 1198).

Jami’ah Al-Qarawiyyin yang menjelma menjadi sebuah universitas yang paling terkemuka di abad pertengahan membuatnya tidak hanya diminati oleh para pelajar Muslim, namun juga oleh pelajar non-Muslim. Ahli filsafat dan agama Yahudi ternama, Rabbi Moshe ben Maimon (1135 – 1204) yang dijuluki oleh para penganut Yahudi sebagai “Nabi Musa kedua” adalah lulusan Universitas Qarawiyyin. Nicolas Cleynaerts (1495 – 1542) dan Jacob Golius (1596 – 1667) tercatat pernah belajar tata bahasa Arab di universitas ini. Golius bahkan telah menerjemahkan buku astronomi karya Al-Farghani dan buku kedokteran karya Ibnu Baklarech lalu mempublikasikannya ke Eropa. Gerbert ‘d Aurillac (946 – 1003) yang kemudian menjadi Paus Sylverster II belajar matematika dan astronomi di Qarawiyyin. Beliaulah mempekenalkan sistem numeral Arab ke Eropa.

Kini, Universitas Qarawiyyin dibagi menjadi sejumlah fakultas yang tersebar di empat kota besar, di antaranya Fes, Agadir, Tetouan, dan Marrakech. Jami’ah Al-Qarawiyyin yang telah beroperasi sejak 12 abad lalu hingga sekarang tidak pernah lelah menjadi pusat ilmu bagi para pelajar dari berbagai negeri.

0 komentar:

Posting Komentar